NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM RUKUN HAJI

Oleh: Sawitri Dwi Astuti, S.Pt., S.Pd

 لبيك اللهم لبيك لبيك لاشريك لك لبيك ان الحمد والنعمة لك والملك لاشريك لك

“(Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan milik-Mu semata-mata, tidak ada sekutu bagi-Mu).”

Kalimat di atas adalah lafadz talbiyah yang terucap saat umat Muslim di seluruh dunia hendak melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji adalah ibadah pungkasan yang merupakan ibadah teristimewa bagi umat Muslim. Akan sempurna rasanya apabila umat Muslim telah menunaikan ibadah haji setelah syahadat, salat, puasa, dan zakat terlaksanakan. Walaupun demikian, ibadah haji adalah ibadah khusus bagi yang mampu baik secara materi maupun fisik.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imron ayat 97 yang artinya:

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Ibadah haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan beberapa amalan diantaranya: ihram, wukuf, thowaf, sa’i, tahallul, dan amalan lain dengan syarat dan cara tertentu demi memenuhi panggilan Allah SWT. dan mengharap ridho Allah SWT. Ibadah haji diwajibkan Allah SWT. kepada umat manusia yang telah memenuhi syarat-syarat sekali seumur hidup. Selanjutnya yang ke dua kali dan seterusnya hukumnya sunnah. Adapun syarat berhaji antara lain: Islam, baligh, ‘aqil (berakal sehat), merdeka (bukan budak), istitho’ah (mampu).

Amalan ibadah ihram, wukuf, thawaf, sa’i, tahallul, tertib merupakan rangkaian rukun haji. Rukun haji tidak dapat ditinggalkan. Apabila salah satu rukun tidak dipenuhi, maka hajinya tidak sah. Memaknai satu per satu rukun haji secara mendalam akan menyadarkan manusia akan nilai-nilai penghambaannya kepada Allah SWT.

Ihram merupakan keadaan di mana seseorang sudah meniatkan hatinya untuk melaksanakan ibadah haji atau umroh dengan mengenakan pakaian ihram. Selama berihram, jamaah haji wajib mematuhi larangan-larangan yang diberlakukan, meskipun larangan tersebut boleh dilakukan saat ativitas di luar ibadah haji. Ikhlas, tawadhu, taat, rela meninggalkan keduniawian adalah makna yang tersirat dalam ihram. Memaknai pakaian ihram bagi pria yang berwujud dua lembar kain putih tanpa jahitan dan saat berpakaian ihram dilarang mengenakan celana, kemeja, tutup kepala, dan menutup mata kaki, menandakan bahwa betapa manusia adalah sama di hadapan  Allah SWT., yang membedakan adalah ketaqwaannya.

Wukuf di Arafah yang dilaksanakan di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah dari saat tergelincirnya matahari sampai terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah mengajak umat Islam seluruh dunia yang sedang melaksanakan serangkaian rukun haji untuk berkumpul bersama sekaligus berdiam diri sejenak, mengenali diri dan Tuhannya. Mengingat kembali, berinstrospeksi diri selama perjalanan penghambaannya kepada Allah yang Maha Mulia. Berbagai macam negara, suku bangsa, etnis berkumpul menjadi satu di Padang Arafah saat wukuf. Hidup damai dan saling mengerti perbedaan masing-masing sangat terasa saat jamaah berada di tempat ini. Allahu Akbar..

Perjalanan jamaah haji yang diiringi suara para jamaah melantunkan lafadz Talbiyah, doa, dan dzikir  selanjutnya akan menuju kota Mudzalifah untuk melaksanakan mabit atau bermalam walaupun sejenak dalam kendaraan atau turun dari kendaraan pada malam tanggal 10 Dzulhijjah sampai tengah malam. Mudzalifah adalah sebuah kota kecil yang terletak di antara Arafah dan Mina. Dengan semangat kebersamaan yang telah terbentuk saat wukuf di Arafah, bak pasukan perang yang sedang mempersiapkan tenaga dan senjata untuk berperang melawan musuh (Syetan), saat beristirahat ini, para jamaah haji mulai mencari kerikil di sekitarnya sebanyak 7 atau 49 atau 70 butir. Kerikil-kerikil yang dikumpulkan ini digunakan untuk melempar saat Jumrah di Mina. Kerikil-kerikil tersebut disimbolkan sebagai keburukan manusia yang siap dibuang supaya tak mengotori hati.

Rangkaian rukun haji selanjutnya, pada tengah malam jamaah haji mulai bergerak dari Mudzalifah menuju ke Mina untuk melakukan mabit kembali. Mabit di Mina sampai tengah malam pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah bagi yang mengambil Nafar Awwal dan sampai 13 Dzulhijjah bagi yang mengambil Nafar Tsani. Mabit di Mina ini diikuti lontar jumrah. Selama mabit, jamaah haji dapat merasakan kedekatannya pada Sang Pencipta dengan memperbanyak dzikir dan mengenali lingkungan di mana jamaah haji tinggal. Situasi dan kondisi penuh kesederhanaan di tenda- tenda putih pada maktab haji berbagai negara tempat bermalam para jamaah yang memenuhi bukit dan lembah kota Mina, tak menyurutkan semangat kebersamaan, saling mengalah, dan tolong menolong sebagai wujud kesyukuran.

Lontar jumrah atau jamarat pertama, saat setelah para jamaah haji sampai di Mina adalah jumrah Aqabah. Aturannya, pada 10 Dzulhijjah jamaah haji melempar Jumrah Aqabah, tempatnya terletak di Bukit Aqabah, sebanyak 7 kali. Selanjutnya pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah melontar 3 jumrah masing-masing 7 kali (Ula, Wustho, Aqobah) untuk  yang mengambil Nafar Awwal sehingga dibutuhkan 49 kerikil. Dan apabila jamaah haji mengambil Nafar Tsani yaitu pada tanggal 13 Dzulhijjah, maka dperlukan 21 kerikil lagi untuk melontar jumroh. Waktu melontar mulai masuk Dzuhur sampai Subuh. Dengan jarak 2,5 km dari maktab haji, tempat melontar jumroh dapat ditempuh dengan berjalan kaki ataupun kursi roda bagi yang menggunakan fasilitas ini. Lontar jumroh dapat diba’dalkan apabila ada jamaah haji yang terganggu kesehatannya atau kendala lain yang memang sah untuk diba’dalkan.

Jumrah divisualisasikan dengan bangunan berbentuk tugu yang terbuat dari batu, diumpamakan setan yang harus diusir agar tidak membisikkan keburukan kepada manusia. Dengan terusirnya setan, maka akan lahir pribadi Muslim yang shaleh dan bertindak penuh kemanfaatan. Dengan lontar jumrah diharapkan jamaah haji bertekad menjauhi segala kemaksiatan dengan janji diri untuk membuang jauh-jauh semua kemaksiatan dan kejahatan. Bismillahi Allahu Akbar.. 

 Jamaah haji yang melakukan Nafar Awwal atau Nafar Tsani masing-masing akan kembali ke kota Mekkah. Sesaat setelah sampai di Mekah, jamaah wajib melakukan Thawaf Ifadoh / haji tanpa terkecuali karena tidak dapat diba’dalkan.

Thawaf adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran, di mana tiga putaran pertama dilakukan dengan lari-lari kecil dan sisanya dilakukan dengan berjalan biasa. Thawaf dimulai dan diakhiri di Hajar Aswad (lampu hijau) dengan menjadikan Ka’bah berada di sebelah kiri jamaah haji yang berthawaf. Berputar mengelilingi Ka’bah dengan diiringi lantunan dzikir sesuai tuntunan mengisyaratkan kepada manusia untuk senantiasa bertekad kuat, menjalani putaran roda kehidupan dengan tujuan akhir mencapai ridho Allah SWT. Bismillahi Allahu Akbar.

Rukun haji selanjutnya adalah sa’i yakni berjalan tujuh kali bolak balik dari bukit Shafa dan Marwa. Sa’i merupakan napak tilas ibu Siti Hajar yang berusaha mencarikan air putranya bernama Ismail karena kehabisan susu dan air. Usaha mencarikan air  Ismail yang ditinggalkannya ini dilakukan dengan bolak-balik Shafa ke Marwa sebanyak tujuh kali dan hasilnya nihil. Dan tiada disangka atas kuasa Allah SWT., sumber air pun muncul di tempat di mana Ismail ditinggalkan. Hingga saat ini sumber air tersebut menjadi sumber air zam-zam sepanjang tahun yang dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia. Sa’i memberi pesan bahwa kita hendaknya berusaha secara maksimal, pantang menyerah untuk mempertahankan kehidupan dengan penuh optimis, diiringi dengan doa dan tawakkal kepada Allah Yang Maha Baik.

Rukun terakhir dalam rangkaian ibadah haji adalah tahallul. Tahallul adalah menggunting rambut paling sedikit tiga helai. Dengan  bertahallul, maka jamaah haji telah diperbolehkan melakukan larangan-larangan selama ihram. Tahallul mengisyaratkan kepada manusia untuk meruntuhkan keangkuhannya di hadapan Allah SWT. Manusia sama di mata Allah SWT., yang membedakan adalah ketakwaannya.

Banyak nilai kemanusiaan yang dapat kita renungkan bersama dalam rukun haji. Semoga semangat untuk berbuat baik, penuh kerendahan hati, menurunkan egosentris manusia, berprasangka baik, tunduk dan takut Allah SWT senantiasa melekat dalam diri. Berharap Allah SWT menjaga keistiqomahan dalam mengamalkannya pada kehidupan dunia menuju kekekalan di akhirat.  Wallahu’alam bishawab..

 

 

Share to: